Pura Ulun Danu Bratan berlokasi di sisi barat Danau Bratan,
Dataran Tinggi Bedugul pada ketinggian 1239 meter di atas permukaan laut. Danau
Bratan sendiri dulunya adalah bagian dalam dari kawah Gunung Catur. Sebagai
salah satu pusat irigasi di Pulau Bali, pura ini dibangun memuja Dewi Danu atau
dewi danau. Umat datang untuk bersembahyang di sini dan berdoa mengharapkan
panen yang berlimpah. Berdasar pada manuskrip kuno dari Kerajaan Mengwi, Pura
Ulun Danu Bratan dibangun tahun 1633 oleh I Gusti Agung Putu / Agung Anom, Raja
Mengwi. Setelah melewati gerbang utama, ada stupa besar dengan ukiran, kemudian
terlihat pura utama Pura Teratai Bang. Ada juga pura yang lebih kecil Pura
Dalem Purwa, yang dibangun untuk memuja dewi makanan dan minuman. Di pinggir
danau ada pula dua pura dengan meru bertingkat. Yang besar dengan meru
11-tingkat adalah rumah dewa penjaga Gunung Mangu. Gunung Mangu sendiri adalah
tempat tinggal Dewa Wisnu, sehingga pura tersebut dibangun untuk memuja Dewa
Wisnu. Pura lainnya adalah Lingga Petak yang lebih kecil dan lebih ke arah
tengah danau. Pura dengan meru 3-tingkat ini dibangun untuk memuja Dewa Siwa,
dan hanya bisa dicapai menggunakan perahu. Ketika pura direnovasi tahun 1968,
ditemukan 3 buah batu berbentuk bulat dan panjang pada pondasinya,
masing-masing berwarna merah, putih, dan hitam. Batu yang putih dipercaya
sebagai lingga simbol Dewa Siwa yang melambangkan kesuburan.
Tanah Lot adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di
sini ada dua pura yang terletak di di atas batu besar. Satu terletak di atas
bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu.
Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Sad Kahyangan, yaitu pura-pura
yang merupakan sendi-sendi pulau Bali. Pura Tanah Lot merupakan pura laut
tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Menurut legenda, pura ini dibangun oleh
seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Beliau adalah Danghyang Nirartha
yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan
membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah
Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai
meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh
Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Beliau menyanggupi dan sebelum
meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke
tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan membangun pura disana. Beliau juga
mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura. Ular ini masih ada sampai
sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai
ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai
racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa
Bendesa Beraben akhirnya menjadi pengikut Danghyang Nirartha. Obyek wisata
tanah lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar
13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang
terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura
dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan (melengkung). Tanah Lot terkenal
sebagai tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam (sunset), turis-turis
biasanya ramai pada sore hari untuk melihat keindahan sunset di sini.
Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (bahasa Inggris: Garuda
Wisnu Kencana Cultural Park), disingkat GWK, adalah sebuah taman wisata di
bagian selatan pulau Bali. Taman wisata ini terletak di tanjung Nusa Dua,
Kabupaten Badung, kira-kira 40 kilometer di sebelah selatan Denpasar, ibu kota
provinsi Bali. Di areal taman budaya ini, direncanakan akan didirikan sebuah
landmark atau maskot Bali, yakni patung berukuran raksasa Dewa Wisnu yang
sedang menunggangi tunggangannya, Garuda, setinggi 12 meter. Area Taman Budaya
Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah
atau 263 meter di atas permukaan laut. Patung Garuda Wisnu Kencana berlokasi di
Bukit Unggasan - Jimbaran, Bali. Patung ini merupakan karya pematung terkenal
Bali, I Nyoman Nuarta. Monumen ini dikembangkan sebagai taman budaya dan
menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia. Patung tersebut berwujud Dewa
Wisnu yang dalam agama Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai
burung Garuda. Tokoh Garuda dapat dilihat di kisah Garuda & Kerajaannya
yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda untuk
menyelamatkan ibunya dari perbudakan yang akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.
Patung ini diproyeksikan untuk mengikat tata ruang dengan jarak pandang sampai
dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah
Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan
lingkungan dan dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat
4.000 ton, dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter.
Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah
barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura
Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan
Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur
Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi
ini. Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan
spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa
Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah
yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila
adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan
seimbang. Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas
anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad
Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad
Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah,
Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat. Berhubung
banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut
Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat
mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad
Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar
tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada
adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang
bersayap. Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau
Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra
Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di
sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka,
ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat. Dalam
Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu
sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap
seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur
Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat
daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka
dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka,
Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk
melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti,
Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan
Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai
arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi
energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali
menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur
Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri
Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu umat
yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan
meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering
khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang
ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut
diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu
yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang
patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang. Dalam
menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan
daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan
mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga
manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk memiliki ketetapan hati memelihara
sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa
Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu yang patut
dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi
spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang
dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan
Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong
Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru
Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem
Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang
Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung
yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit
itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri
Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan
dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau
datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih
sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.
Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura
Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat,
Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal
dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah
Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura
Prasanak. Demikianlah sekilas tentang Pura Luhur Uluwatu.
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di
Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek
Pura Besakih terdiri dari 18 Pura dan 1 Pura Utama. Pura Besakih merupakan
pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura
yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura
yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis
upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Di Pura
Penataran Agung terdapat 3 arca utama Tri Murti Brahma, Wisnu dan Siwa yang
merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur.
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat ibadah
terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang
dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya
sebagai arwah serta alam para Dewata. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat
Daya Gunung Agung dibuat bangunan suci Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung
unsur-unsur kebudayaan yang meliputi: Sistem pengetahuan, Peralatan hidup dan
teknologi, Organisasi sosial kemasyarakatan, Mata pencaharian hidup, Sistem
bahasa, Religi dan upacara, dan Kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu
diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya
material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang
sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap
fungsional. Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan
sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami
perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden
berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih,
gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu. Latar belakang
keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai
tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai
istana Dewa tertinggi. Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati
dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial
religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu
dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu Bali,
ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan
budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh
perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan
wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan
tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep
ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam
bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan
aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran
tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu di Bali.
Pura Goa Lawah berlokasi di Kecamatan Dawan, Klungkung dan
berada dipinggir utara jalan arteri antara kota Semarapuira- ibukota
Kab.Klungkung, kearah timur menuju kota Amlapura- ibukota Kab.Karangasem.Jarak
Pura Goa Lawah dari Denpasar- ibukota Propinsi Bali sekitar 49 KM, atau 10 KM
sebelah timur kota Semarapura. Posisi Goa Lawah terletak pada koordinat 8
derajat, 31 menit Lintang Selatan dan 115 derajat, 30 menit Bujur Timur pada
ketinggian sekitar 5 meter dari muka air laut pasang tertinggi.Pura yang dihuni
ribuan kelelawar ini memiliki status sebagai KahyanganJjagat, dalam hal ini Sad
Kahyangan tempat sthana Ida Sang Hyang Basukih dan menurut Padma Bhuwana, pura
ini berada diarah tenggara sebagai kedudukan Dewa Maheswara.Sebagaimana
pura-pura besar Kahyangan lainnya, maka terasa sulit mengetahui dengan
sebenarnya siapa pendiri dan kapan didirikannya Pura Goa Lawah ini.
Diperkirakan Maha Pandita Mpu Kuturan memiliki hubungan kesejarahan dengan
pendirian dan keberadaan Pura Goa Lawah ini. Dang Hyang Nirartha dijaman
pemerintahan Dalem Waturenggong merupakan Maha Pandita lain yang pernah datang
ketempat ini. Pengemong Pura Goa Lawah adalah kramadesa adat Pesinggahan. Pada
bulan-bulan baik- sasih ayu dan hari-hari baik-rahina subhadiwasa, umat Hindu
banyak berdatangan ketempat ini. Di Pura ini umat Hindu melakukan upacara
Nyegara Gunung, karena lokasinya berada ditepi laut dan diperbukitan atau
gunung. Hanya beberapa meter disebelah selatan pura terdapat pantai sedangkan
gunung itu sendiri diwakili oleh perbukitan dimana pura dan goa ini berlokasi.
Konon Goa ini tembus ke Gunung Agung dan diperkirakan merupakan bekas aliran
sungai bawah tanah. Pura ini memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan
karena keberadaan goa kelelawarnya sendiri serta bangunan pura dan kegiatan
umat bersembahyang. Pura ini memiliki fasilitas yang cukup memadai, seperti
Parkir, Wantilan,Urinoir / jamban serta beberapa tempat berteduh baik bagi
pemedek ataupun wisatawan nusantara maupun mancanegara. Semua fasilitas ini
seyogyanya ditata kembali sehingga tepat fungsi dan selalu berada dalam keadaan
bersih dan rapi.
Pura ini terletak di Desa Mengwi, kabupaten Badung, yaitu
kurang lebih 18 km barat laut kota Denpasar. Pura ini merupakan salah satu dari
pura-pura yang terindah di Bali. Halaman pura ditata sedemikian indah dan
dikelilingi kolam ikan. Dibangun tahun 1634 oleh Raja.Mengwi saat itu I Gusti
Agung Putu, kemudian dipugar tahun 1937. Dihiasi oleh meru - meru yang
menjulang tinggi dan megah diperuntukkan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi
para dewa yang berstana di Pura-pura lain di Bali, Pura Taman Ayun adalah Pura
lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap Selasa
Kliwon Medangsia. Seluruh masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa
hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Kompleks Pura dibagi menjadi 4
halaman yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Halaman Pertama
disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya
jembatan kolam dan Pintu gerbang. Begitu masuk di sana ada tugu kecil untuk
menjaga pintu masuk dan di sebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan)
dimana sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara. Di halaman ini, juga
terdapat tugu air mancur yang mengarah ke 9 arah mata angin. Sambil menuju ke
halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil
dengan nama Pura Luhuring Purnama. Areal ke tiga atau Halaman ke dua, posisinya
lebih tinggi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus
melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah
bangunan aling-aling Bale Pengubengan yang dihiasi dengan relief menggambarkan
Dewata Nawa Sanga, (9 Dewa penjaga arah mata angin). Di sebelah timur halaman
ini ada satu pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah
barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Areal ke empat atau
halaman terakhir adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang
paling tengah akan dibuka di saat ada upacara, tempat ke luar masuknya arca dan
peralatan upacara lainnya. Sedangkan Gerbang yang di kiri kanannya adalah untuk
keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut. Halaman ini terdapat
beberapa meru menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk Tiga halaman
dari Pura ini melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yg paling bawah
adalah tempat / dunianya manusia, ke tingkat yang lebih suci yaitu tempat
bersemayamnya para dewata, serta yang terakhir melambangkan Sorga tempat
berstananya Tuhan Yang Maha Esa. Seperti dikisahkan dalam cerita kuno Adhiparwa
, keseluruhan kompleks pura menggambarkan Gunung Mahameru yang mengapung di
tengah lautan susu.
Untuk Informasi Hub : Bpk Ketut Suardika
Email : kawasanwisatabalitourtravel@yahoo.co.id
Telpon : 0361 368 7624
Hp : 08124697219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar